Lapang Bhakti, Tempat Dulu Kami Bermain Mengisi Mengisi Cerahnya Hari
Dulu disini saya sering maen bola tiap sore hari, tak peduli cuaca mau cerah, hujan, angin gede, dordar gelap (Red: Halilintar) maen bola harus jalan. Ya, disini entah kenapa saya merasa senang banget, semua beban hilang gitu, apalagi harus galau karena pacar. Ya, maklum masih kecil gak punya pacar (udah gede juga perasaan masih sama) haha. Saat bermaen bola selalu saja ada cerita menarik yang akan dibawa pulang tiap harinya, mulai dari kaki kacugak cucuk (kena duri), kaki keseleo, sampe berantem sama tim tetangga karena tanding (nah ini jangan ditiru yah).
Biasanya saya maen bola setelah shalat adzan Ashar. Saya nyamperin temen satu persatu. Yang paling sulit tuh, yah izin dari ibunya temen, apalagi kalo cuaca udah hujan. Kalo saya sih udah keluar rumah sebelum ashar jadi gak usah izin dulu, paling pulangnya langsung kena marah. Jika semua temen udah kumpul, "Prittt" pertandingan dimulai. "Goooollll", teriakan saya "sambil selebrasi Fernando Torres ke rumput yang berisikan kubangan air" ketika saya masukin bola ke temen saya, karena memang waktu itu lagi hujan. "Golllll, Tiang, Golll, Tiang, Golll, Tiang", itu adalah sebuah perdebatan tim saya dan tim lawan ketika bola mengenai tiang gawang. Yah dulu kan saya gawangnya pake sendal, jadi gak tau pasti gol atau engganya, begitu pun ketika bola yang di tendang sedikit melambung ke atas.
Cerita ketika hari cerah pun tak kalah menarik. Ketika cuaca seperti ini biasanya perizinan dari ibunya temen sedikit mudah, paling tidak kan ketika pulang cucian tak akan terlalu kotor, cuman bau keringat doang (tetep aja yang nyuci ibu :D). "Pritttt", pertandingan dimulai seperti biasa. "Leupas, leupas, leupas (red: putus, putus, putus)", teriakan temen saya ketika melihat layangan yang putus, alhasil permainan berhenti layaknya water break. Mengejar layangan yang putus adalah bagian yang tak akan terpisahkan dari masa kecil saya ketika di Lapang Bhakti. Memang sih harga layangan tersebut tidak seberapa, tapi kebahagian mengengejar layangan itu tidak akan bisa dibeli oleh apapun ya. Hal ini gak saya rasakan lagi sekarang.
Ketika layangan yang putus tersebut di dapat oleh saya atau temen saya, kadang permainan sepak bola berubah menjadi adu layangan. Yah di depan (bagian barat) atau di samping kanan (bagian utara) biasanya banyak bocah yang lagi medar (Red: bermain layangan). Nah adu layangan pun dimulai, dengan benang tanpa gulungan kadang kita menang, seringnya sih kalah haha. Jikalau layangan yang putus tadi tidak di dapat maka permainan sepak bola dilanjutkan, gol demi gol tercipta lagi, "tapi tak peduli seberapa banyak gol yang tercipta oleh lawan, tim yang terakhir mencetak gol dialah juaranya". Waktu bermain yang saya sepakati dengan tim lawan bukan 90 menit, tapi permainan hanya akan berakhir jika adzan magrib sudah berkumandang dari bagian barat masjid bernama Baetul Bhakti.
Foto sebelah selatan Lapang Bhakti. Saat itu proses pembangunan Taman Kota sudah berlangsung tapi sempat terhenti sehingga menyisakan bagian selatan yang rumputnya masih terasa enak. Kini foto di atas sudah berubah menjadi Lapang Volly
Sekarang Lapang Bakti sudah berubah bentuk menjadi taman kota dengan beberapa fasilitas olah raga, seperti Lapang Basket, Lapang Volly, tempat Papan Panjat, Jogging Track dan Panggung hiburan. Nama yang dikenal pun sekarang bukan lagi Lapang Bhakti tapi Taman Kota disingkat TAMKOT. Sekarang tiap malam Minggu Taman Kota Lapang Bhakti ini selalu ramai di datangi oleh para anak muda, maupun orang tua yang ingin bersantai disekitar taman ini. Dulu mah boro-boro dah malem-malem Lapang Bhakti rame kaya gini. Cerita mistis tentang Nini Tando mungkin sudah tak asing lagi bagi anda yang bermukim di kawasan Cibulan ataupun Parunglesang.
Nini Tando
Cerita yang berkembang di masyarakat, Nini Tando ditenggarai sebagai penunggu Lapang Bhakti, katanya wujud Nini Tando menyerupai nenek-nenek yang berambut ular (serem bener ya). Hal ini banyak yang mempercayainya karena memang letak Lapang Bhakti berdekatan dengan gedung tua yang berpuluh-puluh tahun sudah tak terurus lagi. Gedung itu bernama Cusin (entah benar atau salah ini ejaan). Nama Cusin diambil dari pemilik yang membangun gedung itu, namun karena keburu meninggal dunia, maka pembangunan gedung tersebut berhenti.
Terlepas dari benar atau tidaknya cerita mistis tersebut. Yang jelas saya gak pernah ketemu sama si nenek ini haha :D. Saya sangat menikamti masa kecil saya di Lapang Bhakti. Akhir kata, saya mau ngucapin terimakasih untuk teman-teman seperjuangan saya yang udah mengisi cerahnya masa kecil saya. Saya baru sadar, sendal buat gawang, kaos singlet, kubangan air, layangan putus, dan semua temen saya adalah harta berharga saya yang bisa memberikan kebahagiaan tanpa bisa dibeli oleh apapun. Sekarang mereka semua udah punya jalan masing-masing untuk menyongsong masa depannya. Semoga kita selalu diberikan kebahagian seperti kita sewaktu kecil yah teman.
Wassallam.
(Fachrul Akbar Tirtawidjaja, Urang Cibulan).
Wassallam.
(Fachrul Akbar Tirtawidjaja, Urang Cibulan).
« Newest
Newer Posts