Dalam Tembok Ratapan
Di kota yang lelah, ia melihat rayu gemerlap dunia. Mencoba menggadaikan nilai-nilai adiluhung tentang hidup yang bermakna.
Kota ini seperti candu, siapa yang sudah terjerembab, sulit baginya untuk keluar. Mungkin hanya dua pilihan yang bisa diambil, semakin dalam atau siap menjadi seorang idealis yang diasingkan.
Lihatlah setiap hari ia menulis di tembok ratapan. Mantra-mantra kemustahilan atau tentang norma-norma yang ia tabrak menggunakan senjata dunia. Beberapa orang tak mengetahui bahkan tak peduli.
Seorang anak manusia tinggal dalam bangunan 4 X 4, kemudian ia keluar, melihat burung yang terbang bebas. Ia sadar ternyata penjara manusia memang menjadi paradoks. Ia lalu pergi, mencari nasi. Uangnya memang berlebih untuk satu piring yang tak habis. Apa jadinya kalau Tuhan tak memberikan rasa lapar?
Ia kembali ke ruang diskusi diri. Melihat bangunan bertingkat dan mendengar bunyi klakson yang ternyata bukan balasan atas idealisme yang digadaikannya. Lebih dari itu ia melihat seorang anak manusia yang jiwanya entah dimana. Hanya tembok ratapan yang selalu ia pandang.
Mulutnya selalu berucap tidak, tapi nyatanya ia selalu tak bisa membendung hasrat yang membabi buta. Ia kembali berbicara di tembok ratapannya. Apakah menghamba sia-sia jika tak bermakna? Ia selalu saja takut kalau esok bumi gelap, tapi tak pernah bersyukur kalau hari ini terang.
Ia mencoba hijrah. Bukan belajar mengaji, mengganti baju atau mengghapus tato. Ia hijrahkan temboknya. Tapi tetap saja tembok ratapan lah yang menjadi teman berbicaranya kini. Semua seolah bisu, sajak-sajak bermakna seolah hancur ketika ia tak bisa membendungnya. Ia rindu akan masa-masanya dulu ketika dunia hanya sekadar main-main.
Ia pun tak mengerti, kenapa paradoks kehidupan selalu ada. Hari ini ia yakin kalau hukuman Tuhan-lah yang lebih ia rasakan. Manusia hanyalah mahluk yang terbatas akan akal, bahkan ketika berdosa. Dosa terbesarnya adalah ketika ia sendiri tak merasa berdosa.
-Jakarta, 31 Desember 2020