Bukan Tak Pernah Update Status atau Pasang Story, Temanmu Hanya Berbeda Cara atau Tempatnya Saja
Beberapa hari terakhir ada hal yang sedikit menyadarkan saya, betapa seseorang yang saya anggap tak pernah menulis sesuatu di sosial media (red : curhat), ternyata ia juga senang melakukannya. Kejadian itu pun tak sengaja ketika saya berselancar di sosial media yang sebenarnya jarang saya buka. Padahal di sosial media lain saya dan dia berteman. Saya tak akan menghakimi ia karena melakukan hal tersebut. Ini hanya pengingat bagi saya, seringkali saya menilai "kedalaman" seseorang dari sosial media a atau b saja, pedahal tidaklah demikian. Bisa saja ia berprilaku x di sosial media a dan berprilaku y di sosial media b. Dan berperilaku z di dunia nyata.
Media sosial memang sudah berkembang banyak menggantikan hal-hal zaman dulu. Bagaimana dulu orang tua kita setidaknya punya satu album foto yang dicetak, sementara di era sekarang anda lebih senang menggunggahnya ke sosial media Instagram atau Facebook. Begitu pun ketika update status atau story. Dahulu mungkin kakak-kakak kita atau orang tua kita lebih senang menulis di buku harian nya yang dibawa kemana-mana. Kini anda bisa menulis di berbagai platform.
Kembali ke judul tentang tempat dan cara setiap orang dalam mencurahkan isi hatinya di sosial media. Saya menemukan seseorang yang pasif di Whatsapp (sesekali update story), tapi begitu masif ketika di Twitter. Ia merasa di Twitter tak perlu menjaga image atau dianggap spam ketika nge tweet dibandingkan menulis story di Whatsapp. Pertanyaannya, "Lalu mengapa tak memanfaatkan fitur privacy di Whatsapp?". Beberapa teman saya menjawab, "ribet jika harus bongkar pasang privacy, jika tak ada yang melihat sama sekali pun berasa gak update story juga".
Dengan menggunakan account altert di Twitter, ia merasa bebas berselancar dalam sosial media tersebut berbeda dengan Whatsapp yang terasa disitu-situ aja. Jika di Instagram rasanya terlalu ribet untuk sekadar update status harus mengunggah dulu sebuah foto atau video. Sedangkan jika menulis di storynya merasa kurang puas.
Dahulu saya begitu masif update status ketika awal-awal kemunculan Facebook. Mungkin dulu saya merasa orang-orang berkumpulnya disitu. Seringkali bercanda atau "menumpahkan" pikiran saya disitu. Begitu pun ketika berpindah dari sosial media a ke b, lalu b ke c, saya seringkali melakukan hal demikian berulang-kali ketika awal-awal mempunyai sosial media, hingga akhirnya saya menyadari privasi saya sebegitu terbukanya.
Pada saat itu, saya mulai melakukan hal-hal tentang pembatasan privasi. Berulang kali Instagram di private hingga saya lebih banyak melakukan following daripada memperbanyak follower. Privasi saya pokonya harus dijaga, "biarkan saya melihat privasi orang di sosial media". Hal itu berlanjut ke Whatsapp. Dahulu saya pernah memakai Whatsapp GB dan Mod. Silakan anda googling sendiri tentang hal tersebut.
Saya bertingkah seolah tidak terlihat, padahal saya melihat dia. Tapi ketika ada di titik jenuh, saya menyadari jika terus-terusan seperti itu interaksi sosial media pun berkurang juga (walau tak berpengaruh ke interaksi di dunia nyata), tapi hal itu membuat diri saya was-was ketika privasi saya terlihat oleh seseorang yang sengaja saya sembunyikan. Akhirnya saya pun membuka kembali privasi-privasi tersebut, dan yang dilakukan justru lebih menjaga kehati-hatian dalam menulis nya. Jadi setidaknya yang ditulis adalah hal-hal yang baik dan menyenangkan.
Padahal sah-sah saja jika anda melakukan hal demikian, baik memprivasi story anda di Whatsapp dan hanya beberapa orang yang dapat melihatnya, atau memiliki akun altert di Twitter yang bisa mengakomodasi curhatan anda, tanpa ada yang tau bahwa itu anda. Satu hal yang perlu saya tekankan adalah, setiap manusia pasti butuh minimal satu orang yang mendengarkan keluh kesahnya, sehingga respon atas keluh kesah yang ditulis di sosial medianya memang berdampak positif langsung pada psikologis seseorang yang menulis. Dan sebaliknya, tidak semua orang peduli dengan apa yang kamu tulis di media sosial, mereka hanya sekadar ingin tahu saja, jadi bijak-bijaklah jika menulis di platform sosial media.
Akhir tulisan ini, saya ingin mengutip salah satu kata-kata seorang notulensi acara Indonesia Lawak Klub yaitu Kang Maman. Dalam sebuah puisinya ia menulis, "Bersujudlah ke bumi, karena curhat terbaik adalah menatap bumi dan kau akan di dengar oleh penghuni langit". Sekian tulisan kali ini, sampai jumpa di tulisan saya selanjutnya.