-->
Fachrul Akbar Tirtawidjaja
Fachrul Akbar Tirtawidjaja Seseorang yang senang berjalan jauh, memotret, dan menuangkan pikirannya kedalam bentuk tulisan tak baku tapi menyelipkan idealisme karena perutnya mulai kenyang, menyukai sepak bola tapi dari sudut pandang berbeda.

Tragedi Kelam Stadion Kanjuruhan Malang 1 Oktober 2022

Tragedi Kelam Stadion Kanjuruhan Malang 1 Oktober 2022

Malam ini pertandingan berjalan menghibur. Goal demi goal tercipta. Ya, saya menonton pertandingan antara Arema FC VS Persebaya Surabaya dalam lanjutan BRI Liga 1 2022 di Indosiar. Persebaya lebih dulu mencetak 2 Goal di babak pertama, kemudian Arema berhasil menyamakan kedudukan menjadi 2 sama menjelang Akhir babak pertama. Di babak kedua, Persebaya kembali mencetak goal dan skor menjadi 2-3 untuk keunggulan Persebaya. Sebetulnya kedua tim menampilkan permainan terbuka yang menghibur, dan Arema lebih banyak menguasai pertandingan setelah tertinggal 2-3. Sementara serangan balik Persebaya juga beberapa kali membahayakan. Namun skor akhir 2-3 bertahan hingga peluit akhir berbunyi di stadion Kanjuruhan Kabupaten Malang.

Disinilah tragedi mulai terjadi. Selepas pertandingan saya langsung mengecek semua sosial media terutama timeline di twitter karena saya banyak mengikuti akun-akun pentolan supporter. Biasanya informasi disini lebih cepat sampai daripada rilis resmi di media. Dan benar saja kabar tentang Aremania yang menyerbu lapangan viral dimana-mana. Sampai video ini bertebaran saya masih sedikit tersenyum melihat pola prilaku orang-orang semacam ini. Konon, Aremania yang menyerbu kelapangan sebetulnya ingin meluapkan kekecewaan mereka kepada pemain dan official Arema sendiri, jadi sebetulnya tak ada hubungan dengan rivalitas yang terjadi dengan Bonekmania. Bonekmania sendiri dilarang hadir di pertandingan Derby Jatim tersebut. Persitiwa semacam ini sebetulnya sudah sering terjadi di sepakbola Indonesia, namun jatuhnya korban jiwa sebetulnya lebih banyak karena rivalitas supporter dan itu terjadi di luar lapangan.

Beberapa jam kemudian saya mulai membaca di linimasa twitter tentang kematian 2 orang Aremania, dimana salah satunya adalah seorang balita. Air mata saya tak terasa menetes, apalagi setelah melihat postingan seseorang di twitter tentang percakapannya dengan seorang ibu yang kehilangan balita nya tersebut. Apa harus stadion jadi tempat ritual meminta tumbal bernama sepakbola? Saya jadi teringat beberapa bulan lalu tentang kematian 2 orang Bobotoh yang berdesakan di pintu masuk GBLA. 2 orang itu terinjak-injak dan kekurangan oksigen kemudian meninggal dunia. Apakah akses masuk stadion sekacau itu? sebetulnya kekacauan semacam ini bukan rahasia lagi di sepakbola Indonesia terlebih di pertandingan-pertandingan besar yang dianggap menyita perhatian publik. 

Jauh sebelum peristiwa-peristiwa itu terjadi saya pernah melakukan hal-hal yang dinggap melanggar tersebut, diantaranya membayar seorang oknum untuk memasukan saya yang tidak punya tiket kedalam stadion. Seperti sederhana, tapi bayangkan jika yang melakukan ini ribuan orang, tentu saja stadion akan penuh sesak, sementara yang punya tiket malah tertahan diluar dan ini akan menjadikan chaos di pintu masuk. Apalagi jika pintu ditutup dengan alasan penuh, padahal yang punya tiket masih diluar, sungguh aneh, tapi peristiwa semacam ini sudah menjadi hal lumrah di Indonesia. Dan tingkah laku semacam itu sudah saya tinggalkan karena jelas-jelas salah.

Waktu menunjukan pukul 23.30 wib, saya kembali meng update berita. Saya tak bisa berkata apa-apa, ketika ada yang mengeluarkan berita 15 orang meninggal dunia, 2 diantaranya polisi, dan kolom komentar nya banyak yang bilang terus bertambah. Kemudian video-video tentang kekacauan di stadion Kanjuruhan makin banyak bertebaran, termasuk orang-orang yang meninggal dunia berserakan di ruang pelayanan kesehatan stadion Kanjuruhan. 

Sementara itu di media sosial banyak terjadi adu argumen mengenai siapa salah atas kejadian ini. Kubu satu menyalahkan Aremania yang masuk ke dalam lapangan dan dianggap memicu kericuhan, kubu satu lagi sepakat kalau Aremania salah namun yang membuat banyaknya korban justru dari aparat kepolisian karena menembakan gas air mata ke kurumunan di tribun. Saat itu saya hanya bilang, "Ini sepertinya tragedi kelam sepanjang sejarah sepak bola Indonesia". Mungkin pertandingan esok hari antara Persib Bandung VS Persija Jakarta akan ditunda, dan mungkin Kompetisi BRI Liga 1 2022 juga akan terhenti sampai waktu yang tidak di tentukan.

Pagi hari saya kembali membuka berita dan sungguh kaget ketika ada realese resmi dari kepolisian yang meninggal dunia berjumlah 127 orang. Hancur hati saya melihat berita ini. Sungguh olahraga yang membuat saya bahagia sejak kecil menelan korban sebanyak ini. Bagaimana tidak, kebanyakan korban meninggal adalah karena berdesakan di pintu keluar karena kekurangan oksigen dan terinjak-injak. Mereka berlarian karena gas air mata yang di tembakan ke tribun penonton. Saya teringat dulu saya sering menonton sepak bola antar kampung karena rumah saya kebetulan dengan lapangan bola. Sungguh, saya menikmati seluruh riuh sorakan penton setiap sore hari, termasuk dengan para pedagang tahu sumedang atau es jeruk kala itu.

Sebagai seorang anak kecil, saya pun sering ikut-ikutan orang dewasa melakukan teror kepada para pemain lawan di Lapang Bakti Kota Banjar. Tentu teror-teror yang menurut saya masih dalam batas kewajaran, seperti celetukan-celetukan khas orang sunda yang satire ataupun umpatan-umpatan reflek ketika sebuah pelanggaran terjadi. Dan itulah cikal bakal yang membuat saya tumbuh menjadi seorang Bobotoh. Lapang Bakti dahulu pernah mengehelat pertandingan yang dianggap besar kala itu. Tidak banyak yang tau kalau pemain asing pertama yang saya hampiri saat itu justru adalah pemain Persikabo. Saat itu saya menghampiri bench pemain dan saya dikasih satu buah Apel oleh pemain Persikabo. Saat itu Persikabo sedang melakukan pertandingan persahabatan dengan Persikoban Kota Banjar. 

Memasuki usia remaja, tayangan di TV selalu menyiarkan Liga Djarum, dan sebagai orang Sunda saya tentu merasa bangga ketika ada tim/orang Sunda yang berlaga. Dan klub itu adalah Persib Bandung. Jarak yang cukup jauh sebetulnya dari rumah saya yang harus ditempuh 4 jam perjalanan. Ketika bermain bola dan menggiring bola saya mengelu elukan kalau saya adalah Zaenal Arif atau Ridwan Barkaoui. Dan saya pun meng klaim kalau saya adalah Bobotoh Persib. Sejak saat itu saya mengenal tentang rivalitas antara Bobotoh Persib dan Jakmania. Dan hari ini menurut saya rivalitas itu sudah kebablasan. Saya jadi bertanya, Apakah masih perlu rivalitas 90 menit di lapangan agar pertandingan menarik? Saya melihat percikan di lapangan pun seringkali bisa menghilangan nyawa seseorang di luar lapangan, meskipun konteks ini akan jadi perdebatan panjang. 

Hari ini saya melihat klub sepak bola di Indonesia sudah seperti Agama. Orang-orang semacam ini berpikir kalau hal semacam ini adalah harga diri yang harus di bela. Seperti cinta, mereka sendiri tidak pernah tau alasannya kenapa mereka mencitai seseorang. Dan ketika itu harga diri, ketika itu cinta. Maka mereka tak rela ketika tim nya terpuruk, mereka protes terhadap orang-orang yang ada di tim tersebut baik pemain ataupun official. Mereka menutut adalanya evaluasi. Dan ketika argumen mereka seperti dianggap angin lalu, kerusuhan banyak dimulai dari sini. Termasuk peristiwa tadi malam.  

Pikiran saya lalu kembali ke peristiwa di stadion Kanjuruhan. Saya lalu mencari sebuah berita karena teringat kematian-kematian supporter di luar negeri yang sering diberitakan. Dan Indonesia menjadi negara kedua terbanyak sepanjang sejarah sepak bola dunia. Dan ini jadi terbesar sepanjang sepak bola tanah air. Semua berbela sungkawa, seluruh masyarakat menuntut untuk di usut tentang peristiwa ini. Sampai berita ini ditulis, Official Account Arema FC mencatat korban terus bertambah menjadi 187 orang. 

Dan begitulah kejadian tadi malam tanggal 1 Oktober 2022. Malam yang kelam di Malang. Malam yang kelam bagi sepak bola di Indonesia. Dan peristiwa ini akan menjadi catatan sejarah kelam dunia. Tulisan ini tentu akan mengingatkan saya kelak ketika tua nanti untuk saya baca kembali. Di akhir tulisan saya ingin mengajak untuk semua pihak yang terlibat untuk berbenah. 

"Ibumu, Ayahmu, Adekmu, Kakakmu, Saudaramu dan Temanmu itu menunggu pulang di rumah, bukan di tempat peristirahatan yang lain"  

Fachrul Akbar Tirtawidjaja
Fachrul Akbar Tirtawidjaja  Seseorang yang senang berjalan jauh, memotret, dan menuangkan pikirannya kedalam bentuk tulisan tak baku tapi menyelipkan idealisme karena perutnya mulai kenyang, menyukai sepak bola tapi dari sudut pandang berbeda.

Comments